Sidoarjo, Centralberitanews1.com – Upaya membekali keterampilan hidup bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) terus digalakkan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Sidoarjo. Salah satu terobosan terbaru yang mencuri perhatian adalah peluncuran program pembinaan berbasis UMKM dengan produk unggulan berupa Sambal Klothok dan Sambal Pindang, dua sambal khas Nusantara yang mulai merambah pasar lokal.
Kegiatan yang berlangsung pada Kamis (4/7/2025) ini menjadi bagian dari strategi pembinaan kemandirian yang dirancang serius oleh petugas Seksi Kegiatan Kerja Lapas Sidoarjo. Tidak hanya sekadar pelatihan, namun WBP dilibatkan secara aktif dalam setiap proses produksi dari pemilahan bahan baku, pengolahan, hingga pengemasan produk yang telah memenuhi standar mutu dan higienitas.
Kepala Lapas Kelas IIA Sidoarjo, Disri Wulan Agus Tomo, menegaskan bahwa program ini bukan hanya instrumen pembinaan, melainkan jembatan konkret bagi para WBP untuk mempersiapkan kehidupan mandiri pasca-pembebasan.
“Kami menerapkan sistem pembinaan berbasis produktivitas. Di satu sisi, warga binaan belajar keterampilan baru, dan di sisi lain, produk yang mereka hasilkan benar-benar dipasarkan melalui kerja sama dengan pelaku UMKM di luar lapas,” ujar Disri kepada Centralberitanews1.com
Langkah ini dinilai sebagai bentuk sinergi antara institusi pemasyarakatan dengan ekosistem kewirausahaan lokal. Dengan menggandeng mitra UMKM dalam aspek pemasaran, produk-produk sambal olahan WBP tidak hanya diserap di lingkungan sekitar lapas, tetapi juga mulai menyasar pasar yang lebih luas—baik melalui platform digital maupun jaringan distribusi retail kecil-menengah.
Sambal yang Lahir dari Tangan-Tangan Terbina
Produk sambal yang dihasilkan bukan sembarang sambal. Sambal Klothok dan Sambal Pindang merupakan resep otentik dengan cita rasa rumahan, diolah menggunakan bahan segar, dan telah melalui uji pasar terbatas yang menunjukkan respons positif dari konsumen. Kemasan modern dengan sentuhan tradisional menjadi nilai tambah tersendiri di tengah persaingan pasar produk kuliner siap saji.
Proses pembuatannya pun diawasi secara ketat, mulai dari sanitasi dapur produksi, penggunaan alat yang layak, hingga pelabelan produk sesuai standar keamanan pangan.
Menurut salah satu petugas pembina kegiatan kerja, pelatihan diberikan secara bertahap agar WBP tak hanya mahir dalam produksi, tapi juga memahami pentingnya manajemen usaha, pemasaran, hingga logistik.
“Kami tidak ingin warga binaan sekadar membuat sambal. Kami ingin mereka punya bekal lengkap tentang dunia usaha. Ini bukan hanya pelatihan, tapi proses transformatif,” jelasnya.
Membangun Harapan, Menghapus Stigma
Program pembinaan berbasis UMKM ini sejalan dengan semangat restorative justice dan integrasi sosial. Melalui kegiatan ini, Lapas Sidoarjo mencoba mendobrak stigma bahwa narapidana adalah beban negara. Justru sebaliknya, mereka dibina agar kelak menjadi individu produktif dan mandiri.
Disri Wulan menambahkan bahwa pihaknya tengah menyiapkan perluasan skala produksi serta penguatan branding produk melalui label resmi dan sertifikasi izin edar. Bahkan, ke depan, peluang ekspansi ke jalur ekspor terbuka lebar, seiring meningkatnya minat konsumen terhadap produk sambal autentik asal Indonesia.
“Ini adalah investasi sosial jangka panjang. Ketika mereka bebas nanti, mereka tidak mulai dari nol. Mereka sudah punya skill, pengalaman, bahkan jaringan,” pungkasnya.
Dengan langkah progresif seperti ini, Lapas Sidoarjo membuktikan bahwa lembaga pemasyarakatan bisa menjadi pusat pemberdayaan, bukan sekadar tempat pembinaan tertutup. Melalui tangan-tangan warga binaan yang kini terampil dan produktif, secercah harapan tumbuh—tak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi wajah baru sistem pemasyarakatan Indonesia.
(Ifa)