Surabaya, Centralberitanews1.com – Iklim kebebasan pers kembali tercoreng. Insiden memalukan yang menyeret nama Bupati Situbondo, Rio Wahyu Prayogo, menjadi pemantik gelombang protes keras dari kalangan jurnalis. Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) secara resmi mengutuk tindak kekerasan yang dialami wartawan Radar Situbondo, Humaidi, saat menjalankan tugas peliputan unjuk rasa pada Kamis, 31 Juli 2025.
Tragedi ini tidak hanya melukai tubuh seorang jurnalis, tetapi juga menjadi ancaman nyata terhadap kebebasan pers di Indonesia. Ketua Umum KJJT, Ade S. Maulana, dalam pernyataan resminya, menegaskan bahwa jika dalam waktu 1x24 jam Bupati Rio tidak menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, maka ratusan jurnalis akan memenuhi gerbang Mapolda Jawa Timur sebagai bentuk solidaritas dan tuntutan keadilan.
“Jangan menguji kekompakan profesi kami, Bapak Bupati. Dari Sabang sampai Merauke, kami satu suara. Jika satu rekan kami diperlakukan tidak adil, kami semua akan bergerak,” tegas Ade, Senin (4/8/2025).
Dari Lapangan Hingga IGD: Kronologi Kekerasan
Berawal dari tugas jurnalistik biasa, Humaidi hadir meliput unjuk rasa yang digelar LSM terkait pernyataan kontroversial Bupati Situbondo di media sosial. Saat berusaha melakukan wawancara, justru tindak kekerasan fisik dan verbal yang didapatkannya.
Bupati Rio disebut menepis tangan Humaidi, bahkan mencoba merampas ponsel wartawan tersebut saat pengambilan video. Tidak berhenti di situ, seorang pria tak dikenal – yang bukan bagian dari aparat maupun massa aksi – menarik tangan Humaidi dari belakang dan membantingnya ke tanah. Dalam kericuhan itu, Humaidi juga menerima pukulan dan tendangan.
“Dia merasa diintimidasi sejak awal, bahkan sempat dimaki dan direndahkan di depan umum oleh Bupati dengan kata-kata yang sangat tidak pantas,” ujar Ade.
Pasca kejadian, Humaidi dilarikan ke RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo dan saat ini masih menjalani perawatan intensif karena cedera pada bagian rusuk.
Pasal 18 UU Pers Dilanggar, KJJT Dorong Polda Jatim Ambil Alih Penanganan
KJJT dengan tegas mendorong agar penyidikan kasus ini diambil alih oleh Polda Jawa Timur untuk menghindari intervensi pihak-pihak tertentu di daerah. Dasarnya jelas: perbuatan menghalangi kerja jurnalistik diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyebut pelanggaran dapat dikenai pidana dua tahun penjara atau denda hingga Rp 500 juta.
“Ini bukan hanya tentang Humaidi. Ini soal martabat jurnalis dan kebebasan pers di negeri ini. Negara harus hadir,” kata Ade, menekankan bahwa tindakan penganiayaan dan perendahan profesi wartawan tidak bisa dianggap sepele.
KJJT juga menyatakan akan memboikot semua agenda Pemkab Situbondo dan menghentikan publikasi terkait Bupati Rio sebagai bentuk mosi tidak percaya terhadap kepemimpinannya.
Peran Polisi dan Satpol PP Dipertanyakan
Dari kronologi yang dihimpun, selain pelaku utama penganiayaan bukan bagian dari massa aksi, keterlibatan petugas keamanan juga menjadi sorotan. Satpol PP dan anggota Polres Situbondo disebut berada di lokasi saat insiden terjadi, namun tidak mampu mencegah kekerasan.
Pertanyaan besar pun mengemuka: mengapa pengamanan pejabat negara justru abai ketika kekerasan terhadap jurnalis terjadi di depan mata?
Dewan Pers: Indeks Kebebasan Pers Jatim Anjlok Tajam
Tak kalah mencemaskan, insiden ini menjadi catatan gelap tambahan bagi Jawa Timur yang dalam laporan terbaru Dewan Pers mengalami penurunan signifikan pada Indeks Kemerdekaan Pers (IKP). Dari 76,55 poin pada 2023, Jatim anjlok ke 67,45 poin pada 2024, dan kini berada di peringkat 33 dari 38 provinsi di Indonesia.
“Jika tindakan semacam ini dibiarkan, tak menutup kemungkinan Jatim akan masuk kategori ‘Tidak Bebas’ tahun depan. Ini sangat mengkhawatirkan,” tegas Ade.
KJJT: Jangan Sok Kuasa, Pers Bukan Musuh
Ketua KJJT juga menyesalkan sikap arogan Bupati Rio yang dianggap "sok kuasa", tidak menghargai kerja jurnalistik, serta menyebar intimidasi terhadap jurnalis yang bertugas. Tindakan seperti ini, menurutnya, adalah bentuk penghinaan terhadap profesi wartawan.
“Kami bukan lawan politik. Kami bukan provokator. Kami hanya pewarta fakta. Tapi ketika profesi kami diinjak-injak, kami wajib bersatu,” tegas Ade lagi.
Tuntutan Tegas: Minta Maaf atau Didemo Besar-besaran
Komunitas Jurnalis Jawa Timur kini tengah bersiap menggelar aksi besar-besaran di Mapolda Jatim. Tidak hanya wartawan dari Surabaya dan Situbondo, rekan-rekan dari seluruh penjuru Jawa Timur bahkan luar daerah telah menyatakan siap bergabung.
“Kami tidak akan berhenti sampai ada keadilan. Ini peringatan keras bagi siapapun pejabat publik: jangan anggap remeh kekuatan pers,” tutup Ade.
Penutup
Kasus Humaidi adalah cerminan nyata bahwa kekebalan hukum masih kerap dinikmati pejabat daerah, sementara jurnalis yang bersuara justru jadi korban. Centralberitanews1.com berdiri bersama rekan-rekan media lainnya untuk memastikan bahwa suara kebenaran tidak akan dibungkam tidak di Situbondo, tidak di mana pun di Indonesia.
Redaksi: Centralberitanews1.com