Centralberitanwes1,Com*digadang-gadang sebagai salah satu terobosan besar pemerintah untuk mengurangi beban keluarga miskin sekaligus meningkatkan kualitas gizi generasi muda. Sejak diluncurkan, program ini dipuji karena skalanya yang besar dan dampaknya yang potensial terhadap perbaikan kualitas sumber daya manusia Namun, di balik sorotan keberhasilan, sejumlah kasus keracunan makanan di beberapa daerah.
menimbulkan pertanyaan serius: apakah program ini telah dirancang secara matang, atau lebih menyerupai eksperimen berskala nasional dengan anak-anak sebagai subjeknya? Respons pemerintah terhadap kasus keracunan sering kali diredam dengan statistik. Salah satu narasi menyebutkan deviasi tingkat kasus keracunan hanya sekitar 0,00017 persen—seolah-olah angka kecil ini cukup untuk meredakan keresahan masyarakat. Pidato Prabowo di Munas PKS, Akui Ada Keracunan MBG, tapi Cuma 0,00017 Persen Kemiskin Padahal, statistik tidak bisa menyamarkan fakta bahwa ada anak-anak yang sakit setelah mengonsumsi makanan dari program ini Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara Dalam konteks kesehatan dan keselamatan masyarakat, angka bukanlah pembenaran. menyampaikan ungkapan yang tepat untuk situasi ini: “satu korban terlalu banyak, sejuta keberhasilannya terlalu sedikit.” Kebijakan publik bukan laboratorium Kebijakan publik idealnya dibangun di atas penelitian yang matang, simulasi risiko, dan uji coba terbatas yang dilakukan sebelum diimplementasikan dalam skala nasional. Namun, MBG tampak dijalankan dengan logika trial and error.
Pemerintah mengandalkan data deviasi yang rendah untuk membenarkan program, seolah-olah akan adanya kasus keracunan bisa dianggap outlier semata.Masalahnya, pendekatan ini lebih cocok untuk uji eksperimen di laboratorium, bukan dalam kehidupan nyata yang melibatkan jutaan anak. Dalam penelitian ilmiah, penyimpangan kecil bisa ditoleransi karena subjek penelitian sadar bahwa mereka menjadi bagian dari eksperimen. Namun dalam kebijakan publik, masyarakat tidak pernah menandatangani “persetujuan eksperimen.” Mereka berhak menerima layanan yang aman, bukan sekedar “cukup aman berdasarkan statistik.”
Menggunakan narasi ilmiah untuk menormalisasi keracunan justru mengikis kepercayaan masyarakat. Anak-anak bukanlah angka dalam tabel statistik, melainkan individu yang berhak atas jaminan keselamatan penuh. Biaya Keracunan MBG yang Tak Terlihat Mengorbankan satu anak demi menerima angka deviasi yang rendah sama saja menukar kemanusiaan dengan logika kuantitatif yang dingin. Etika dan kepercayaan publik Etika kebijakan menempatkan manusia sebagai pusat pertimbangan. Dalam kasus pangan, prinsip “zeroharm” adalah standar minimum. Itulah mengapa pernyataan “satu korban terlalu banyak, sejuta keberhasilan terlalu sedikit” menjadi relevan. Kalimat ini menegaskan bahwa keberhasilan program sebesar apa pun tidak bisa menutupi kegagalan mendasar: adanya bahaya nyata yang menimpa masyarakat. Kepercayaan masyarakat tidak dibangun dari statistik, melainkan dari kepastian bahwa negara hadir melindungi warganya. Angka yang terlihat kecil tidak berarti apapun jika masyarakat merasakan ancaman langsung terhadap keselamatan mereka. Dalam kondisi seperti ini, bahkan satu kasus keracunan saja sudah cukup untuk menimbulkan keresahan massal dan meningkatkan kepercayaan sosial. Jika melihat masyarakat pemerintah menganggap korban sebagai anomali kecil, maka legitimasi kebijakan akan terkikis. Rakyat bisa kehilangan keyakinan bahwa pemerintah menempatkan keselamatan mereka di atas segalanya
Hilangnya kepercayaan masyarakat bukan hanya masalah citra, tetapi bisa menghambat terhentinya program yang sebenarnya penting bagi masa depan generasi muda. Sebaliknya, sikap yang etis adalah mengakui kelemahan, memperbaiki sistem, dan menegaskan bahwa satu kasus saja sudah cukup untuk melakukan evaluasi mendalam.
Merah (Oboy)./Alk